Rabu, 07 Desember 2011

Budaya Dagang Etnis Tionghoa : ”Dapat Sepuluh, Dipakai Dua” !



wong Indonesia (Etnis Lokal) kebanyakan iri dengan keberhasilan etnis Tionghoa, mereka beranggapan bahwa orang2 Tionghoa sudah kaya sejak lahir, pesugihan, pelit, atau benarkah keberhasilan sebagian besar para pengusaha etnis cina lantaran dekat penguasa..?

Bisa benar dan bisa juga salah, karena ada juga yang berjuang tanpa dekat dengan kekuasaan bahkan sangat prihatin sekali। Ada yang mengatakan karena etos kerjanya yang luar biasa bahkan sejak kecil warga keturunan selalu diajarkan untuk tahu diri, sebab mereka merasa sebagai kaum minoritas। Begitu juga dalam bertindak tidak boleh terlalu menonjol atau berlebihan dan gampang minta bantuan pada orang lain, sebab kalau minta bantuan biasanya orang yang mau bnatu jadi sungkan. Beda kalau bantuan itu diberikan karena kemauan yang membantu, biasanya lebih tulus.

Dalam kehidupan sehari-hari kalau memiliki penghasilan Rp10, hanya Rp 2 yang kami gunakan selebihnya kami tabung. Ini sduah disosialisasikan sejak kecil dilingkungan keluarga. Sedang dalam kerja, orang tionghoa selalu diajarkan agar tidak tergantung pada orang lain. Kami harus mampu menguasai jenis pekerjaan dari yang paling mudah samapai yang sulit. Bahkan beranggapan kalau pekerjaan itu tdiak permanen seperti layaknya roda berputar, suatu saat diatas, lain waktu dibawah.

Maka modal yang paling penting bagi etnis tionghoa adalah sikap dapat dipercaya. Berapapun uang yang diberikan kalau tidak bsia dipercaya ya tidak akan berhasil. Begitu juga kalau memiliki usaha sendiri.



Bisnis bagian dari budaya

Prinsip orang Tionghoa, ”Apa yang kami lakukan hari ini, bukan untuk hari ini saja, tapi untuk kedepan” Jadi kedepan untuk apa ? Sehingga perlu modal, modal bukan hanya uang saja, tapi bisa juga keterampilan, semangat dan kepercayaan sehingga harus pandai bergaul serta berkomunikasi. Nah, perdagangan adalah lahan satu-satunya yang paling memungkinkan untuk saling berkomunikasi dan bergaul, saling kenal dan membangun relasi.
Begitu juga menjadi pedagang bukan karena faktor keturunan. Ini lebih berkaitan dengan pendidikan awal di lingkungan keluarga sebagai akar budaya khas, dengan alasan keluarga tionghoa tidak semudah suku lain sehingga mereka bekerja keras. Lalu kenapa banyak orang Tionghoa jarang menekuni profesi lain? Sebagai kaum minoritas, mereka menyadari akan keterbatasan peluang bagi mereka. Namun setelah reformasi politik sejak mulai priode Gusdur sedikit banyak perubahan paradigma perubahan profesi, banyak orang Tionghoa yang terjun ke dunia politik. Banyak dari keturunan Tionghoa yang terjun ke politik, kita kenal Kwiek Kian Gie, Alvin Lie, dll. Mungkin yang belum terdengar kalau mereka menjadi ABRI atau birokrat, mereka beranggapan masih sulit. Keterbatasan dan diskriminasi inilah yang menyebabkan mereka harus memaksakan diri memilih wiraswasta atau perdagangan. Dan disektor inilah mereka leluasa mengatur hidup. Itulah sebabnya ilmu berdagang ditanamkan dilingkungan keluarga sejak kecil yang akhirnya menjadi bagian dari budaya.